top of page

journey

TRAVEL JOURNALS  |  THOUGHTS  |  LIFE STORY

Writer's pictureAfrizal Maarif

We Survived The First Year, Refleksi Setahun Perkuliahan di Belanda

12 Agustus 2018, kali pertama saya menginjakkan kaki di Bandara Schipol, gerbang pertama saya untuk melihat Benua Biru. Seusai mengambil bagasi, saya sempatkan pergi keluar untuk menghirup udara segar sejenak. Sembari menghisap kretek yang kubawa dari tanah air, dalam hati ku bergumam; “Ahh, Eropa!” Akhirnya, tanah yang saya impikan semenjak duduk di bangku sekolah dasar, kini saya bisa melihatnya secara langsung. “Inilah awal petualangan di Eropa, pasti seru tuk memulai kuliah dan hidup baru disini!”, pikir saya secara lugu kala itu. Namun, apakah benar kuliah dan hidup di Eropa semenyenangkan itu? Saya akan mencoba menguraikannya secara singkat dalam cerita di blogpost kali ini. 21 Agustus 2019, ketika tulisan ini dibuat, saya duduk di meja belajar, memandang ke photo-wall yang saya buat sekitar sembilan bulan yang lalu. “Hffffh”, saya menghela nafas sejenak. Tak terasa sudah satu tahun lebih saya berkuliah di Negeri Belanda. Dan terkadang, pertanyaan itu sering muncul, menimbulkan perasaan insecure;

“Apa yang sudah dicapai selama disini?” Saya mencoba untuk memutar memori setahun yang lalu. Mencoba mengurai kembali masa-masa bahagia ketika baru sampai di tanah rantau. Masa awal itu merupakan waktu yang menyenangkan. Kala itu, Belanda sedang memasuki musim panas, dimana cuaca sedang hangat-hangatnya. Kami mahasiswa baru begitu bahagia menikmati setiap sudut tempat tinggal baru kami, kota kecil Wageningen. Masih teringat di ingatan, saat itu kami juga disibukkan oleh perintilan-perintilan aktivitas mencari furniture untuk tempat tinggal kami, tak lupa kami juga menyempatkan mencoba berbagai kuliner, dan yang pasti kami teramat senang karena memiliki teman baru, kawan seperjuangan di tanah rantau. Masa bahagia ini, orang-orang biasa menyebutnya dengan fase bulan madu atau honeymoon phase, dimana kami sedang merasa bahagia-bahagianya untuk memulai kehidupan baru, di tempat yang baru, Bersama orang-orang yang baru. Pada masa awal itu, kami mengunjungi banyak tempat baru. Tak lupa kami mengabadikan momen-momen bahagia tersebut dan mem-postingnya di media sosial. Foto-foto tersebut menambah warna-warni feed Instagram kami di media sosial. Mungkin banyak orang berpikir, “wah enak ya, kuliah di luar negeri. Bisa kuliah sambil jalan-jalan melihat dunia”. Semuanya memang terlihat menyenangkan. Namun, di balik itu semua, apakah kuliah di luar negeri memang se-menyenangkan itu? Jawaban saya secara personal adalah belum tentu. Mengapa belum tentu? Karena bisa jadi dibalik feed Instagram yang ceria, ada perjuangan, tangis dan peluh di balik itu semua. Terkadang, bisa saja, bahwa kebahagiaan yang nampak di permukaan, ternyata itu hanya sesuatu yang semu belaka.

Fase-fase berat Merefleksikan setahun berkuliah di luar negeri, tepatnya di Negeri Belanda, saya merasa bahwa kuliah di luar negeri tidaklah semudah apa yang saya bayangkan sebelumnya. Ada beberapa perbedaan, entah dalam; perbedaan sistem pendidikan, perbedaan budaya, perbedaan bahasa, perbedaan pola kerja, maupun perbedaan musim dimana kami perlu untuk beradaptasi. Kala itu, musim dingin pertama saya di Belanda. Suhu udara begitu dingin menusuk hingga minus 11 derajat Celcius. Langit hampir selalu gelap karena siang begitu singkat dan malam begitu panjang. Langit berwarna kelabu seolah ia sedang merasa sendu. Kami tak menyangka bahwa cuaca yang sendu bisa juga mempengaruhi kondisi psikologis kami. Beberapa orang bahkan merasa bahwa musim dingin adalah masa yang rawan menimbulkan depresi. Saya nampaknya hampir merasa demikian, dikarenakan selain tuntutan akademis yang berat, ada permasalahan pribadi lain yang secara signifikan turut mempengaruhi kondisi psikologis dan kesehatan mental saya.


Saya tidak menyangka bahwa permasalahan psikis memiliki dampak yang luar biasa pada hal-hal lainnya. Nafsu makan hilang, hidup tidak bersemangat, perasaan insecure, anxiety dan overthinking pun datang silih berganti. Mungkin di saat itu saya merasa bahwa saya sedang berada di fase-fase sulit semasa studi saya di Belanda. Ketika kamu sudah merasa demikian, hal yang paling bijak untuk dilakukan adalah cari pertolongan semisal kamu membutuhkan, entah dari keluarga, teman dekat maupun psikolog untuk membantu memulihkan kondisimu. Dari pengalaman tersebut, saya benar-benar bisa belajar dan merasakan sendiri bahwa mental health atau kesehatan mental merupakan sesuatu yang amat penting namun seringkali, banyak orang melihatnya sebagai sesuatu yang sepele.

Pentingnya Support System Ketika merasa hampir depresi pada musim dingin itu, saya merasa bahwa support system terasa begitu penting. Support system bisa berupa teman dekat, orang tua, saudara atau bahkan psikolog. Ketika terpuruk, saya sempat ditawari untuk berkonsultasi ke psikolog oleh study advisor (dosen wali) saya di kampus. Saya merasa bahwa bercerita tentang permasalahan kita kepada orang lain, bisa mengurangi beban kita. Walaupun terkadang, kita memang butuh waktu sendiri untuk merenung, namun menurut saya, bercerita ke orang lain juga bisa membantu banyak. Karena pada dasarnya, kita tidak membutuhkan untuk diberi nasihat, kita hanya perlu untuk didengar untuk meringankan masalah kita. Saya mencoba berkeluh kesah kepada teman-teman dekat saya dan setelahnya saya berangsur-angsur membaik.

“Karena pada dasarnya, kita tidak membutuhkan untuk diberi nasihat, kita hanya perlu untuk didengar untuk meringankan masalah kita”

Selain komunikasi, saya juga merasa bahwa berpikir positif dan berada dalam lingkungan yang supportif bisa membantu memulihkan kondisi kita ketika sedang down secara lebih cepat. Saya masih ingat, bahwa titik balik saya waktu itu adalah ketika saya mengikuti sebuah acara seminar yang diadakan oleh Nuffic Neso di Kantor KBRI Den Haag. Pada saat seminar tersebut, yang menjadi pembicara adalah Bu Indri, salah seorang komite dari Beasiswa Stuned. Saya masih teringat kata-kata beliau, “Perhaps, the biggest thing you learn from studying abroad is You”. Saya merasa bahwa quotes dari Bu Indri tersebut adalah hal yang sangat relevan. Karena, selain mempelajari perihal akademik, mungkin hal lain yang kita pelajari dari kuliah di luar negeri adalah tentang bagaimana memahami diri sendiri secara lebih baik. Belajar tentang bagaimana untuk bertahan, berproses dan menjadi mandiri.

“Perhaps, the biggest thing you learn from studying abroad is You”

Kutipan dari Bu Indri somehow selalu terngiang-ngiang dalam ingatan. Dan pada akhirnya, hal tersebut ternyata berangsur-angsur bisa memberi sugesti positif pada diri sendiri. Alhasil, setelah itu, saya bisa merasa lebih tenang, dan bisa menerima keadaan secara lebih lapang.


Fase Pemulihan Tak lama setelahnya, musim semi datang. Cuaca berangsur menjadi lebih hangat, matahari bersinar lebih panjang, pun bunga bermekaran seakan membawa semangat baru untuk menjalani lika-liku perkuliahan di Belanda. Saya merasa, kehidupan berangsur membaik setelahnya. Saya mencoba mengisi hari-hari dengan kegiatan yang menyenangkan; pergi ke taman, membaca buku, memasak bersama teman-teman, menjelajah tempat-tempat baru dan tentunya bermain sepak bola.


Saya harus mengakui bahwa hidup merantau jauh dari rumah memiliki tantangannya tersendiri. Terkadang permasalahan hidup datang menghampiri dan membuat kita menjadi sedih dan terpuruk. Namun, bagi saya itu semua normal. Sedih hanyalah sebagian kecil dari berbagai macam perasaan atau emosi yang bisa kita rasakan sebagai manusia. It’s okay to be sad, it’s okay to cry, we’re human after all. Merasa sedih adalah hal yang wajar, tidak ada yang salah dengan itu. Namun tetap, hal yang terpenting adalah jangan terlalu lama terlarut dalam kesedihan. Sedih itu boleh, namun bangkit kembali adalah sebuah kewajiban setelahnya. Cari pertolongan dari lingkungan sekitar apabila kamu membutuhkannya untuk memulihkan kondisimu dan bangkit kembali. Saya merasa beruntung dikelilingi oleh banyak orang baik yang banyak membantu ketika saya dalam fase terendah. Saya merasa senang bisa menemukan teman baik yang sudah terasa seperti keluarga sendiri di tanah rantau ini.


"It’s okay to be sad, it’s okay to cry, we’re human after all."

Teman-temanku yang baik dan lucu

Berkat mereka-mereka inilah, hidup di Wageningen terasa begitu manis. Terimakasih untuk kalian semuanya, sukses untuk kita semua di jalan apapun yang kita pilih!


--

Begitulah singkatnya refleksi perkuliahan setahun di Belanda menurut saya. Setelah disadari, ternyata kuliah di luar cukup berliku, namun pada akhirnya berakhir indah. Tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang perjalanan terasa begitu berat. Permasalahan terkadang datang menghampiri. Tapi tetap ingatlah bahwa, setelah badai terbitlah pelangi, after the storm comes the rainbow. Saya merasa bersyukur sekali bisa diberikan kesempatan menimba ilmu disini. Saya masih ingat hari dimana saya berdoa untuk berada di posisi seperti ini. Dan pada akhirnya Tuhan yang Maha Baik mengabulkan doa itu. I do still remember the day, I prayed for what I have today. And that is the reason why I should keep working hard. Akhir kata, terimaskasih saya ucapkan pada keluarga Wagenesia yang membuat hidup di Belanda begitu menyenangkan. Sukses selalu untuk kita bersama, ya!



Mulai ditulis pada Agustus 2019

Wageningen, Belanda








*disclaimer: tulisan ini hanyalah opini pribadi berdasarkan pengalaman penulis.

27 views

Yorumlar


bottom of page