Benua Biru, tanah impian.
Entah mengapa, Eropa semenjak dahulu telah menjadi salah satu impian terbesar bagi saya. Terdapat banyak hal yang membuat saya jatuh cinta dengan Eropa, beberapa diantaranya adalah; arsitektur, kota-kota tua, keindahan budaya serta tentunya Liga Champions Eropa, pertandingan sepak bola yang menurut saya adalah yang terbaik di dunia!
Begitu berkesannya Eropa, semenjak duduk di sekolah dasar dahulu saya sudah memimpikan untuk mengunjungi Eropa. Setidak-tidaknya hingga saat ini, Eropa telah saya jadikan impian terbesar dalam 20 tahun terakhir. Saya teramat gemar untuk melihat informasi atau gambar seputar Eropa, entah itu dari buku, film, majalah maupun kartu pos. Melihat Eropa dari berbagai media tersebut seakan membakar semangat untuk mewujudkan mimpi bahwa suatu saat saya akan menginjakkan kaki di Tanah Eropa. Benua Biru, sang tanah impian.
Perjalanan menuju Eropa mulai tergambar jelas semenjak saya lulus SMA. Saya mendapat kabar bahwa saya diterima untuk melanjutkan pendidikan sarjana di sebuah universitas di Kota Nijmegen, Belanda. Awalnya, saya teramat senang mendengar kabar karena pada akhirnya, Eropa menjadi semakin dekat! Namun sayangnya, kali ini saya belum ditakdirkan untuk mengunjungi Eropa. Saya diberi kabar bahwa beasiswa yang diberikan bukanlah beasiswa penuh, sehingga pada akhirnya saya urungkan niat untuk lanjut di Eropa seusai lulus SMA.
Namun sebagai gantinya, saya mendapatkan hadiah yang sepadan. Tuhan Maha Baik, bahwa akhirnya saya diterima di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), salah satu kampus terbaik di Indonesia, kampus yang telah lama saya idam-idamkan. Saya merasa bersyukur bisa diterima di ITS. Saya mendengar bahwa kampus ini memiliki relasi yang baik dengan Eropa karena banyak kerjasama yang dilakukan dengan Eropa, banyak pertukaran mahasiswa ke Eropa dan banyak pula alumninya yang melanjutkan studi ke Eropa. Diterima di ITS bagi saya adalah anugerah. Saya telah meniatkan diri untuk menjadikan ITS menjadi gerbang awal saya menuju Eropa, sang tanah impian.
Dari semenjak jaman mahasiswa baru yang masih unyu dan lugu, saya sudah mulai memikirkan strategi untuk menuju Eropa. Bahkan pada semester awal, saya sudah bertanya-tanya kepada kakak senior yang berhasil melanjutkan studinya ke Eropa, salah satunya Mas Dewa (semoga kamu membaca artikel ini ya, Mas! Kamu adalah salah satu inspirasi terbesar saya selama kuliah planologi di ITS dulu). Saya sudah mengambil ancang-ancang untuk mengambil Magister di Eropa, bahkan beberapa minggu setelah semester 1 berjalan. Saking terobsesinya, bahkan ketika semester 1 saya telah mengambil kursus Bahasa Perancis di UPT Bahasa ITS. Bahasa, bagi saya adalah sebuah langkah awal yang saya yakin bakal menelurkan beberapa langkah besar lainnya untuk menuju Eropa.
Image credits: Elena A, pexels.com
Perancis, saat itu adalah salah satu negara tujuan saya untuk studi. Entah mengapa, pantulan Menara Eiffel dalam teduhnya aliran Sungai Seine dan indahnya Arc de Triomphe di kala senja terlihat begitu romantis dalam benak saya sehingga saya berkeinginan untuk lanjut sekolah disini. Poster bertuliskan Paris, j'arrive! Saya tempel di dinding kamar saya untuk selalu memotivasi saya mewujudkan keinginan itu. Namun pada akhirnya, jalan menuju Perancis tidaklah begitu mudah. Setelah lulus dalam kursus Bahasa Perancis level dasar, saya kesulitan untuk melanjutkan ke level berikutnya, dikarenakan Bahasa Perancis peminatnya tidaklah banyak. Mulai saat itu, saya mulai memikirkan alternatif lain.
Image credits: Iriser I, pexels.com
Pilihan saya jatuh ke Bahasa Jerman. Di semester kedua, saya memutuskan untuk mengambil kursus Bahasa Jerman dasar di tempat yang sama, UPT Bahasa ITS. Negeri Panzer dengan kecanggihan teknologi dan kemajuan tata kotanya membuat saya terbesit untuk melanjutkan studi di sini. Namun, sekali lagi, harus saya akui bahwa kendala bahasa membuat saya kesulitan untuk melanjutkan kursus. Bahasa Jerman pun masih sepi peminat untuk level berikutnya. Kemudian saya berpikir, apakah saya melanjutkan studi di Inggris saja? Studi di Inggris membuat kita tidak perlu mempelajari bahasa Eropa lainnya, kabar baik lainnya, dengan kuliah di Inggris, saya bisa sering-sering menonton Chelsea dan Frank Lampard di Liga Inggris, salah satu motivasi terbaik lainnya untuk kuliah di Eropa.
Perancis, Jerman atau Inggris? Sebuah dilema.
Sebuah dilema berkepanjangan, hingga akhirnya, sebuah buku memberikan saya sebuah pencerahan. Novel Negeri van Oranje karya Mas Wahyuningrat dan kawan-kawan, mungkin menjadi salah satu buku terbaik yang pernah saya baca di hidup saya. Buku ini menggambarkan betapa asyiknya kuliah di Negeri van Oranje, Negeri Belanda. Mengisahkan perjalanan lima orang sahabat yang sedang melanjutkan studi di 5 universitas terbaik di 5 kota yang berbeda; Rotterdam, Leiden, Den Haag, Utrecht dan Wageningen. Berbagai kisah seru, bahagia hingga sedih selama kuliah di Belanda, semuanya tergambarkan secara rapi dalam novel yang ringan dibaca ini. Setelah menghatamkan buku ini, saya mulai berpikir untuk menjadikan Belanda sebagai negara tujuan. Untuk ini, saya saya secara khusus mengucapkan terimakasih kepada Mbak Kiki, kakak senior yang dengan baik hati telah mau meminjamkan novelnya kepada saya.
Belanda, terlihat begitu menarik. Kanal-kanal tua, taman bunga Keukenhoff, Madurodam dan arsitektur kota-kota tua Belanda begitu cantik, membuat saya mulai jatuh cinta dengan negeri ini. Bayang-bayang Belanda dalam novel Negeri van Oranje membuat saya mulai menggeser tujuan dari yang tadinya Perancis, Jerman maupun Inggris, menjadi ke Negeri Tulip. Setelah dilema berkepanjangan, saya berangsur-angsur mulai menetapkan pilihan, bahwa Belanda mungkin adalah tujuan utama, setelah kontemplasi berkepanjangan. Hingga pada akhirnya, hati saya begitu mantap untuk melanjutkan studi di Belanda, tepatnya setelah saya melihat Film Negeri van Oranje di bioskop.
Image credits: Falcon Pictures, falcon.co.id
Film Negeri van Oranje begitu menginspirasi. Gambaran tentang Belanda pada film tersebut begitu cantik, membuat hati saya mantap untuk melanjutkan studi ke Belanda. Terlebih lagi ketika scene si Wicak di Wageningen University, sebuah kampus pertanian terkenal di dunia, membuat hati saya luluh. Jatuh cinta pada pandangan pertama, mungkin terdengar klise namun itulah adanya. Saya jatuh hati pada Wageningen setelah melihat indahnya “Lumen”, bangunan kampus yang didesain seperti green house dengan berbagai tanaman hijau di dalamnya. Melihat Lumen, Campus Forum dan keindahan lansekap Wageningen, membuat saya memantapkan pilihan pada detik itu juga. Wageningen University and Research, adalah tujuan saya berikutnya. Hati saya mantap dengan kampus ini dan bahkan saya telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Buku dan Film Negeri van Oranje, dua hal yang sangat berarti. Bagaimana sebuah buku dan film telah mengubah hidup seseorang. Bagaimana mereka telah membantu saya menetapkan jalan hidup di masa depan.
Image credits: Behnisch S, behnisch.com
Pada saat membaca dan menonton film tersebut, saya masih duduk di semester 5. Masih ada beberapa waktu untuk mempersiapkan segala hal. Saya mulai mencari informasi mengenai jurusan di Wageningen University melalui internet (salah satu situs yang dapat digunakan adalah www.studyfinder.nl). Saya menetapkan pilihan pada program MSc Landscape Architecture and Planning disini. Kabar baik lainnya mengenai studi di Belanda adalah bahwa bahasa pengantar yang digunakan umumnya adalah Bahasa Inggris, sehingga sangat memudahkan mahasiswa internasional yang ingin berkuliah disini. Setelah menetapkan pilihan, akhirnya saya berjuang keras untuk menyelesaikan skripsi saya sembari mencari beasiswa untuk kuliah di Belanda.
Image credits: Reza A.
Tuhan Maha Baik, setelah lulus dari ITS, saya diterima dalam program beasiswa LPDP. Alhamdulillah, teringat awal-awal perjuangan di ITS dulu, dimana ITS saya jadikan gerbang awal menuju Eropa. Dan akhirnya, berawal dari ITS hingga LPDP, gerbang menuju ke Eropa semakin terbuka lebar, benua biru semakin dekat, sayup-sayup UEFA Champions League anthem terdengar semakin kencang. Tak tergambarkan bahagianya bagaimana impian terbesarmu selama 20 tahun terakhir pada akhirnya terwujud. Semua berkat doa orang tua, kerja keras dan teman-teman baik yang selalu menolong dan memberikan dukungan. Eropa, saya akan datang!
Alhamdulillah, mimpi besar itu akhirnya terwujud. Agustus 2018, saya menapakkan kaki untuk pertama kalinya di Tanah Eropa. Amsterdam Schipol Airport, menjadi saksi bisu dimulainya awal perjalanan ini. Saya keluar dari terminal bandara untuk menghirup segarnya udara Eropa, kemudian sujud syukur di depan Schipol untuk menggambarkan betapa bahagia dan bersyukurnya saya hingga akhirnya impian terbesar saya terwujud. Kemudian pada akhirnya, saya juga bisa melihat langsung Campus Forum dan Gedung Lumen di Wageningen, tempat yang dulunya saya lihat di film Negeri van Orange yang telah membuat saya mantap kuliah di negeri kincir angin. Cita-cita saya telah tercapai, namun tentunya ini bukanlah akhir, melainkan sebuah awal menuju cita-cita yang lebih besar; membangun kota-kota di Indonesia menjadi lebih hijau dan ramah lingkungan. Semoga studi saya di Wageningen University bisa membantu saya untuk membuat kontribusi bagi negeri tercinta, Indonesia.
Wageningen, Belanda
28 September 2018, 00:17 AM
Kommentare