“Pernahkah, kita merasa bahwa sebuah tempat atau sebuah lansekap, memiliki kesan spesial atau ikatan batin tersendiri bagi kita?”
Pertanyaan diatas terlintas setelah saya menghadiri mata kuliah “Landscape Theory and Analysis” di kampus saya. Pada saat itu, seorang dosen menerangkan bahwa salah satu cara dalam menganalisa sebuah lansekap (tempat) adalah menggunakan pendekatan mindscape. Pendekatan mindscape membahas banyak tentang bagaimana kita menilai dan mengapresiasi sebuah tempat melalui pengalaman maupun pemikiran kita.
“Mindscape is the landscape in the mental reality, it is made of experiences, the landscape is a story and it is described as a collection of mental dispositions” (Etteger, 2018)
Secara tidak sadar, terkadang kita lupa bahwa sebenarnya pemikiran kita selalu menilai sebuah tempat, atau dalam bahasa saya, kita selalu memiliki sebuah kesan terhadap sebuah tempat, entah dari penampilan fisiknya, suara yang ada di dalamnya, bagaimana bau-nya, seperti apa hawa yang dirasakan, apa cerita atau kenangan yang ada di dalamnya, serta ambience apa yang kita rasakan saat sedang berada disana. Pernahkah ketika kita mendengar bunyi-bunyian tertentu, atau mencium bau tertentu, kita lantas mengasosiasikannya dengan sebuah tempat yang pernah kita kunjungi atau yang bermakna mendalam bagi kita, walaupun kita sedang tidak berada di tempat tersebut?
Saya menuliskan cerita ini ketika pada suatu malam menjelang dini hari, saya sedang mengerjakan tugas kuliah di dalam kamar saya. Lalu tiba-tiba, playlist YouTube saya memutar sebuah alunan yang tak asing bagi saya, yaitu Shalawat Tarhim, oleh Syeikh Ahmad Al-Husary. Bagi yang tidak tahu mengenai alunan ini, sedikit saya beri gambaran bahwa ini adalah alunan shalawat yang teramat indah yang biasanya kita dengar menjelang adzan subuh atau maghrib di beberapa tempat di Indonesia, khususnya di Jawa.
Mendengar Shalawat Tarhim di kamar saya di Belanda, saya tiba-tiba teringat oleh sebuah tempat nan jauh disana yang memiliki makna mendalam bagi saya.
Tempat itu adalah kawasan Ampel di Surabaya,
Ampel, tempat dimana saya menghabiskan sebagian besar masa kecil saya, tempat dimana banyak cerita indah terekam di memori saya mengenai tempat ini. Kawasan Ampel merupakan sebuah entitas geografis yang berkesan mendalam bagi saya. Saya masih ingat betul ketika menyusuri lorong-lorong atau labirin perkampungan arab di kawasan ini. Rasanya masih terekam jelas dalam ingatan, bagaimana penampilan fisik lokasi ini, bagaimana ambience-nya, bagaimana sayup-sayup suara yang terdengar, bagaimana baunya di beberapa tempat dan banyak kesan lainnya yang masih teringat.
Mendengar Shalawat Tarhim di kamar saya pada malam itu, tiba-tiba saya mengasosiasikannya dengan sebuah tempat dan kejadian, tepatnya memori masa kecil saya dulu di Ampel. Dahulu, saya biasanya mendengar alunan Shalawat Tarhim ini menjelang adzan maghrib. Saya teringat akan masa-masa ketika saya dulu mengaji di TPQ Al-Hikmah di kawasan Ampel Blumbang pada sore hari, dan biasanya saya mendengar alunan shalawat ini di sepanjang perjalanan pulang dari TPQ. Mendengar alunan shalawat ini sambil menyusuri gang-gang perkampungan di kawasan Ampel, bagi masa kecil saya pada saat itu, mungkin adalah sebuah rutinitas sehari-hari yang tak terlalu bermakna. Namun, saat ini, setelah saya ingat-ingat kembali, kejadian itu terasa begitu syahdu dan damai saat memori saya memutarnya kembali. Begitu indah, damai dan tenang rasanya.
Image credits: Author, 2017
Hal lain tentang Shalawat Tarhim yang masih saya ingat adalah bahwa alunan ini terkadang juga berfungsi sebagai ‘peluit’ tanda akhir permainan ketika saya dan teman-teman bermain sepak bola di kampung ketika masa kecil dulu. Saya masih ingat betul kata-kata itu, “Buyar-buyar, Ayo moleh, Rek! Wes shola-shola”. ‘Wes shola-shola’ disini berarti bahwa Shalawat Tarhim telah dikumandangkan, menandakan waktu adzan maghrib segera tiba dan kami harus menyudahi permainan sepak bola kami. Kalau tidak segera bubar, pasti salah satu Ibu kami akan berteriak memarahi kami untuk segera pulang sembari membawa penebah :) . Fyuuuh, benar-benar masa-masa yang penuh dengan kenangan. Dan, setelah dipikir-pikir, it’s been really a long while.
___
Wageningen - Belanda, Dini hari saat mengerjakan tugas
Mendengar Shalawat Tarhim ketika itu di kamar, saya terdiam sejenak. Suasana dini hari kala itu begitu sunyi dan tenang. Saya menghentikan aktivitas mengerjakan tugas saya ketika itu. Hal yang saya lakukan adalah berusaha menghayati Alunan Shalawat Tarhim yang sedang diputar dari laptop saya.
Saya pejamkan mata sejenak sembari mendegarkan alunan ini. Saya teramat menghayati dan menikmati sekali alunan ini dari awal hingga akhir, dan entah mengapa, seketika pikiran saya secara otomatis memutar kembali memori-memori indah di Ampel dahulu. Memori tentang kawasan Ampel yang begitu menyenangkan, syahdu dan berkesan mendalam bagi saya. Dan tiba-tiba air mata jatuh seketika membasahi pipi, seperti menandakan bahwa saya teramat rindu segala hal tentang Ampel. Kawasan Ampel, kurindu segala hal tentangnya, kurindu suasana perkampungannya, kurindu hiruk-pikuknya, kurindu kulinernya, kurindu suara-suara di dalamnya, kurindu dengan keluarga disana. Ampel dan berjuta kenangan indah di dalamnya. Saat ini, saya tersadar bahwa, Ampel bukanlah hanya sebuah entitas geografis biasa, lebih dari itu, bagi saya kawasan Ampel adalah sebuah identitas, sebuah tempat yang memiliki ikatan batin yang kuat dengan diri saya. Setidaknya itu adalah persepsi bagaimana saya mengapresiasi tempat yang penuh dengan kenangan ini.
Terimakasih saya ucapkan pada pelajaran Landscape Theory and Analysis: Mindscape, yang telah membantu saya mengingat-ingat kembali memori indah masa lalu. Terimakasih karena ia telah mengajarkan tentang bagaimana kita bisa mengapresiasi sebuah tempat secara lebih baik. Semoga sedikit cerita saya ini bisa memberi sedikit inspirasi untuk teman-teman sekalian tentang bagaimana kita mengapresiasi sebuah tempat. Tentunya teman-teman juga memiliki kenangan atau memori indah tersendiri terhadap sebuah tempat/lansekap yang pernah kalian kunjungi, entah itu tempat dimana kalian menghabiskan masa kecil, tempat liburan atau bisa jadi tempat yang pernah kita kunjungi dengan seseorang yang kita cintai. Kalian bisa mencoba meluangkan waktu sejenak untuk memikirikan dan merenungkan sesaat mengenai tempat itu. Coba hayati baik-baik, bagaimana suara yang terdengar disana, bagaimana lansekap fisiknya, bagaimana baunya, bagaimana hiruk-pikuknya, coba ingat-ingat, kenangan apa saja yang ada disana dan bagaimana hal-hal tersebut memiliki arti tersendiri bagi kalian. Mungkin dari situ, kalian akan bisa lebih mengapresiasi mengenai sebuah tempat dengan segala atribut dan cerita yang ada di dalamnya.
“Karena pada dasarnya, segala tempat selalu memiliki cerita, dan selalu menyenangkan rasanya untuk mengingat kenangan apa saja yang terkait dengan tempat tersebut, setidaknya itulah yang saya rasakan.”
And now, after reflecting back these past journeys. Tak terasa, rasanya baru saja kemarin saya masih sering bermain sepak bola di depan halaman rumah ketika sore hari. Dan saat ini, saya sedang duduk di depan laptop, di sebuah malam di musim dingin, di negeri kincir angin, 11.800 km jauhnya dari kawasan Ampel, tempat saya berasal. Tak terasa, telah begitu banyak yang saya lalui. Banyak impian besar yang dibuat ketika masih di Ampel dahulu, dan Alhamdulillah beberapa mimpi itu telah tercapai, termasuk berkuliah di negeri Belanda. Semoga semua pelajaran dalam perjalanan sejauh ini senantiasa selalu membuat kita menjadi pribadi yang selalu bersyukur.
Wageningen, Belanda 10 Januari 2018, 3:50 AM
Comments